ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Sabtu, 28 Januari 2012

Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara

Meraba Indonesia: Ekspedisi Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara by Ahmad Yunus
My rating: 5 of 5 stars

#2011-50

Dalam beberapa bulan ini, banyak kesempatan untuk membaca tentang Indonesia, tanah tumpah darahku ini. Dari Arus Baliknya Pramoedya sampai Potongan Cerita di Kartu Pos nya Agus Noor. Masih masuk dalam daftar ingin saya baca adalah Nasionalismenya Pandji.
Benar adanya bahwa buku adalah jendela dunia...
Berkesempatan membaca Meraba Indonesia seperti membangun mimpi-mimpi masa muda saya. Yang suka bertualang. Mimpi saya untuk menjelajahi Indonesia yang indah ini. Mimpi yang terpaksa harus saya gantungkan sesaat demi cita-cita masa kecil. Maka saya gembira sekali ketika diminta untuk memoderatori diskusi bukunya, bercerita tentang suka duka sepak terjang orang-orang yang berani mengelilingi Indonesia, untuk membaginya dengan kita, memberikan jendela pandang untuk kita yang belum berkesempatan untuk itu.

Ini bukan buku catatan perjalanan seperti kebanyakan yang hanya membahas asyik-asyiknya suatu perjalanan. Lebih banyak ditonjolkan sisi humanisnya di sini. Dan perjalanan ini dilakukan di Indonesia! Negeri yang penuh dengan keindahan sekaligus ketidakindahan birokrasinya. Kecantikan yang menutupi coreng moreng di baliknya. Negeri yang sulit untuk dijelajahi karena tersebar di pulau-pulau, sementara transportasi airnya masih jauh dari layak melayani.

Indonesia dari perjalanan Yunus dan Farid dari sisi-sisi terluarnya, yang mereka jalani dari Bandung ke Jakarta, Teluk Kiluan Lampung, Bengkulu, Pulau Enggano, Kepulauan Mentawai, Padang, Tapanuli, Nias, Simeulue, Aceh, Sabang, Medan,..
Di sini mereka meraba tradisi lokal yang masih erat dengan keseharian warga masyarakat. Tato di kepulauan Mentawai, yang perlahan menghilang seiring dengan stigma negatif pemerintahan Orde Baru terhadap perajah tubuh ini. Upacara lompat batu di Nias yang kaya dengan seni budayanya, rumah Omo Hada rumah tradisional Nias yang temasuk dalam World Endangered Heritage, mengingatkan saya akan kekecewaan ketika kuliah saya melewatkan masa ekskursi ke Nias (suatu hari kelak saya akan ke sana..) lalu berpindah ke Simeulue dengan tradisi ‘smong’ yaitu menyelamatkan diri ke dataran tinggi ketika terjadi pasang surut tiba-tiba. Cerita-cerita singkat, namun memberi kesan menarik akan kekhasan daerah-daerah ini.

Selat Malaka, Pulau Penyengat, Pulau Natuna, ke Pulau Kalimantan, Pontianak, Sintang, Pulau Karimata, terus menyusuri sisi selatan dan timur Kalimantan, hingga Derawan, Nunukan dan Tarakan..
Ini pahitnya Indonesia. Bertemu polisi lautan yang seharusnya mengayomi namun malah memeras kapal-kapal yang lewat, kalau begini, bagaimana transportasi laut bisa maju jika untuk menjalaninya sehari-hari pun penuh ketakutan begitu. “Sudah biasa,” katanya. Tidak bisa, jerit batin saya.
Pun melihat Natuna yang berlimpah gas namun rakyatnya tetap tidak makmur. Ini menjadi pertanyaan besar sekali buat Indonesia. Kenapa di daerah-daerah yang hasil alamnya melimpah tapi penduduk di situ tak bisa ikut merasakan imbasnya? Tak hanya Natuna. Bangka Belitung, Papua, dan banyak daerah lain di Indonesia tak pernah menjadi bahan evaluasi. Kenapa hanya sisi eksploratifnya yang ditonjolkan dari daerah-daerah tersebut. Kenapa sisi pengembangan sumberdaya manusia di daerah tidak menjadi salah satu prioritas selain berapa dolar yang bisa dihasilkan oleh daerah itu?
Berpindah ke Kalimantan, potret hutan hujan tropis raksasa itu seakan sirna oleh potret keringnya sungai Kapuas, salah satu yang terpanjang di Indonesia, punahnya hutan oleh area kelapa sawit, pembukaan lahan gambut. Apalagi Kalimantan sekarang. Menurut cerita teman, banyak orang berlomba-lomba mendulang batubara tanpa memikirkan efek samping dari tambang yang ia buka. Banyak lubang-lubang menganga yang hanya dihijaukan kembali sekenanya. Menurut teman saya, perusahaannya berusaha menaati peraturan dengan menanam kembali seribu pohon, namun sesudah itu dibiarkan. Apa yang terjadi? Hutan tropis itu tidak pernah kembali. Tanpa perawatan, tanaman akan mati. Mungkin Yunus dan Farid tidak menuliskan itu sekarang, tapi suatu saat kelak, kebusukan-kebusukan ini harus dibongkar.

Makassar, Takabonerate, Wakatobi, Pulai Banggai, Pulau Togean, Pulau Miangas, Ternate, Raja Ampat, Banda Neira, Merauke..
Di sinilah potret kelautan Indonesia. Ketika mereka menggantungkan diri pada laut yang memeluk keseharian. Laut yang menjadi energi untuk hidup sehari-hari. Maka akan miris ketika mereka tahu bahwa Indonesia akan mengimpor ikan. Sementara mereka bersusah payah bertaruh nyawa setiap hari ke laut.

Dan potret-potret kehidupan lain yang ditampakkan dalam keseharian petualangan mereka. Mungkin mereka hanya tamu, mungkin mereka tidak ikut merasakan apa yang dialami. Tapi mereka berani untuk melaporkan apa yang ada di negeri tercinta ini, supaya semua sadar apa yang terjadi di tepian pantai Indonesia, bukan hanya duduk santai penuh fasilitas di kota bernama Jakarta. Mereka petualang. Penjelajah.


View all my reviews

Tidak ada komentar: