ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Minggu, 06 Mei 2012

Now and Then

Now and Then Now and Then by Ann Arnellis
My rating: 3 of 5 stars

Semarang. Kota masa kecilku menghabiskan taman kanak-kanak dan separuh masa SD. Kenangan tersisa ketika adik perempuanku masih ada, kami berlarian di Simpang Lima, menunggu ayah pulang di taman KB, menemani ibu belanja di pasar Bulu, jalan-jalan di Gedung Batu ( klenteng Sam Po Kong) memandang Tugu Muda dari motor bebek, berempat menyusuri kota sampai Gombel. Ah, masa-masa yang tak pernah kembali. Miss you, sis.

Judul bukunya menimbulkan pertanyaan, now and then, sekarang dan kemudian? Kemudian apa? Nggak ada yang pasti untuk cinta, seperti juga hal-hal lainnya. Namun, kata orang, cinta dapat menghilangkan rasa takut terhadap apa pun. ( h.68).

Banyak yang bilang ceritanya biasa, tentang cinta antara dua etnis yang berbeda. Memang cinta itu datangnya biasa aja bukan? Tidak harus seperti kisah ekstraordinari seperti Ferre dan Diva. Kecuali untuk seorang petualang yang mencari cintanya yang teristimewa. Cinta yang terbangun antara Lian dan Pras terjadi begitu lambat, sesuatu yang dibangun dari kedekatan, pertemuan tiba-tiba, dan waktu-waktu tambahan yang menjadi teratur. Namun memang harus ada kebetulan dalam pertemuan, untuk membuatnya istimewa. Jika tidak, akan terasa hambar belaka.

Cerita ini cantik seperti covernya. Membacanya di saat pikiran ingin rehat cukup menyenangkan. Tidak terlalu menye-menye dengan kata-kata berbunga-bunga, juga tidak berat dengan bahasa sastra. Kunci menikmatinya adalah baca dengan pikiran kosong, tanpa dibebani dengan pengalaman membaca yang sudah bejibun. Sangat jamak terjadi untuk orang yang banyak baca sastra akan menilai novel ini ringan. Tetapi kalau kita adil terhadap buku, membaca tanpa membanding-bandingkan, maka akan menikmati cerita. Waktu untuk membaca sangat berharga untukku, sehingga amat sayang apabila habis untuk mencari kesalahan tulisan (yang untung jarang ditemukan).

Poin lebihnya untukku adalah kota Semarang yang digambarkan cukup lengkap, melengkapi yang tergambar dalam ingatan. Walau tidak ada momen romantis di anjungan pandang di Gombel untuk melihat lampu kota, namun Pasar bulu, Tugu Muda, Lawang Sewu, Gombel, bahkan Ponder Stasiun Tawang dilukiskan kegiatannya dengan rapi.

Tidak masalah ceritanya berakhir bahagia atau tidak, yang penting tahu di mana menghentikannya, memberi penekanan, "hmm, it gonna be....."

View all my reviews